Kamis, 20 Mei 2010

Kisah tiga anak band mencari jatidiri. Pemerannya sungguhan bisa main musik. Sayang, belum mencapai kedalaman akting dan karakter.

Gaia menolak cinta, menutup pintu terhadap dunia luar. Gaia punya bakat musik lumayan hebat. Suaranya serak, cocok dengan rock elektronik alternatif, mungkin ia merasa: semakin dekat dengan Sherryl Crow, atau Alanis Morrissett, semakin baiklah suaranya. Tapi inilah Gaia, yang sibuk mengeksplorasi identitas suara, bakat, dan juga mencari kepastian asal-muasal dirinya.

Gaia (Ayu Ratna) adalah anak di luar nikah dan cucu yang selalu ditolak keberadaannya oleh orang tua ibunya (Niniek L. Karim). Garasi memang film dengan tema menarik. Di dalamnya ada percintaan anak muda, konflik, ada musik yang lumayan bagus. Sayangnya, Garasi mendekati bentuk sebuah embrio yang terlalu cepat disajikan ke hadapan publik.

Permainan Ayu Ratna tak begitu berkembang. Apalagi ketika ia mulai memerankan Gaia yang mengalami aneka beban psikologis berat. Kelemahan ini jadi sedikit mencolok karena Garasi film yang bergerak dalam setting yang agak temaram: rumah Gaia yang sempit di tengah kampung, sebuah garasi sebagai tempat latihan Gaia dan kawan-kawan. Artinya, sorotan kamera banyak ditujukan pada ekspresi para pemain.

Adalah Gaia yang mengidamkan band sejati, wadah yang bisa melupakannya dari satu rahasia pribadi. Impian ngeband terwujud dari pertemuan tak sengaja dengan Aga (Fedi Nuril), seorang komposer muda idealis. Mereka, Gaia, Aga, dan Awan (Aries Budiman) pun bergabung mengejar impian bermusik.

Seperti bisa diduga, dua anak muda pintar dan kreatif, Gaia dan Aga, saling jatuh cinta. Mula-mula, ego dua anak muda itu menjadi penghalang cinta. Garasi yang sukses mulai tersentuh pertanyaan: siapa otak kelompok itu. Tapi saling-sengkarutnya bersaing dan bercinta itu sekonyong-konyong berhadap-hadapan dengan persoalan baru. Seorang wartawan membongkar rahasia pribadi Gaia, dan Gaia menjadi buruan masyarakat dan wartawan lain.

Ada drama yang muncul ke permukaan. Tapi sayangnya skenario tak memperhitungkan: meninggalkan musik dari film pada titik ini mengakibatkan plot jadi tersendat. Ada kemungkinan penonton merasakan bagian ini tidak lebih dari suatu tempelan sekalipun sudah diperkenalkan soal ini (baca: Gaia mencari asal-usulnya) sejak awal.

Memang, tak banyak film Indonesia yang berlatar anak muda dan impian bermusik. Katalog Film Indonesia 1926-2005, karya J. Kristanto, menyebutkan ada film Duo Kribo (1977) yang dibintangi Achmad Albar dan Ucok Aka. Pada masa musik subur oleh irama dangdut itu, diproduksi Darah Muda dan Begadang diperankan oleh Rhoma Irama.

Selanjutnya, pada 1987, dibuat film berlatar festival rock dan cinta anak kampus, Macan Kampus. Pemainnya artis top masa itu: Rano Karno dan Sally Marcelina.

Dalam film ini, sineas berusaha memasukkan spirit idealis di awal pertemuan Gaia-Aga ketika keduanya berebut kaset Guruh Gipsy. Ayu kelihatan bekerja keras ketika berduet dengan Syaharani (memainkan peran ibunya). Tapi yang kelihatan adalah permainan akting Syaharani yang lumayan baik.

Karakter Aga yang cool dianggap Agung sebagai ironi bagi karakter Gaia. Aga berada di lingkungan musisi, mudah berinteraksi, santai dan rileks, sementara Gaia terasing dalam lingkungan. Namun, terlihat ekspresi keduanya tak berbeda.

Sebuah film bertema anak band di Indonesia ini butuh waktu 240 hari untuk mencari pemeran dan mendapatkan pengetahuan bermusik. Tuntutannya, pemain bisa main musik, membuat lagu, dan memainkan musik sendiri. Sebuah upaya keras menghasilkan film yang enak ditonton dan musik yang renyah, dan akting jadi nomor sekian.



*******************


Musik 'Kumaha Aing'

Memimpin di depan, suara parau Ayu Ratna dengan lengkingan gitar dengan efek distorsi. Di belakangnya, pukulan drum Aries Budiman. Hilang satu di antara delapan lagu milik grup band Garasi, yang sekaligus menjadi original soundtrack film Garasi mengalir dalam tempo sedang.

Andy Ayunir, penata musik Garasi, menyebut genre musik band itu rock elektronik alternatif, aliran musik yang memadukan rock dengan instrumen elektronik. Ciri warna musik genre ini, efek distorsi gitarnya diperkaya alat-alat elektronik seperti synthesizer, sampler, atau sequencer.

Dari genre yang dibawakannya beranggotakan Fedi Nuril, Ayu Ratna, dan Aries Budiman, band ini mengingatkan pada ingar-bingar berbagai band indie yang lahir, terutama, di Bandung, Jawa Barat. Boleh dibilang, musik Garasi senapas dengan Burger Kill, Forgotten, Full of Hate, Jeruji, Jasad, Koil, Pas, dan Puppen.

Ingar-bingar band indie di Kota Kembang mulai membuncah sejak 1994. Adalah Reverse, sebuah studio musik di bilangan Sukasenang, yang ikut menyemaikan berbagai band itu. Band yang sempat dibesarkan Reverse, antara lain, Pas dan Puppen. Pada 1993, Pas menjadi band Indonesia pertama yang merilis album secara independen. Sementara Puppen, dibentuk pada 1992, bubar tahun 2002 adalah pionir hardcore lokal yang telah menelurkan tiga album.

Saat ini, ada puluhan label independen atau indie label di Bandung yang merekam pelbagai album band indie di kota itu: Spills Records, Harder, Riotic, Apocalypse Records, Distorsi, dan Fast Forwards Records. Yang disebut terakhir sempat merilis album grup Mocca, yang meledak di pasaran. Sekadar catatan, meski sama-sama bagian dari industri, yang membedakan indie label dengan major label adalah spirit kebebasannya. Juga semangat pertemanannya.

Untuk memasarkan albumnya, band-band muda itu menitipkan rekamannya berformat kaset atau cakram padat (CD) ke distro distribution order. Ini satu toko kecil yang juga menjual kaus oblong, celana panjang, tas, papan selancar, dan aneka aksesori buatan industri rumahan. Misalnya, Anonim, Airplane, Ouval, Riotic, dan 347.

Berbagai radio di Kota Kembang ikut menyemaikan band indie. Pada 1992, lewat tangan dingin Samuel Marudut (almarhum), lahirlah sebuah program di radio GMR: memutar demo rekaman pelbagai band baru asal Bandung dan sekitarnya. GMR juga ikut mempopulerkan keberadaan sejumlah band yang berasal dari luar Bandung.

Sementara itu, radio lain di Bandung, Ardan, OZ, dan Ninetyniners, mempunyai acara tangga lagu atau charts yang khusus menampung band indie. Band itu tinggal mengirim kaset atau CD demo album ke radio-radio tersebut. Stasiun radio itu kemudian menyeleksinya untuk ditempatkan dalam daftar peringkat.

Sepak terjang komunitas indie juga dieskpos cukup intens lewat majalah. Pelopornya Revograms Zine, yang terbit pada 1995. Ini fanzine (majalah fotokopian) musik pertama di Indonesia terbitan komunitas indie di Ujungberung, Bandung. Lalu muncul fanzine indie lain, seperti Swirl, Tigabelas, dan Membakar Batas. Setelah itu, terbit majalah Trolley dan Ripple pada 1996. Trolley tutup pada 2002, sementara Ripple berubah format dari majalah saku menjadi format majalah standar. Ripple bertiras sekitar 7.000 eksemplar dan kini tersebar di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Malang, dan kota-kota di luar Jawa.

Pelbagai acara musik underground di sejumlah tempat di Bandung juga menyuburkan band indie. Ada pentas musik underground yang kerap digelar di Gedung Olahraga Saparua, Festival Dago yang belakangan digelar di sepanjang Jalan Dago, Pasar Seni ITB, dan konser-konser musik di sejumlah SMA.

Yang jelas, Garasi dan band sejenisnya yang menjamur di Tanah Air belakangan ini memang bukan gerakan perlawanan atau semacam counter culture. Mereka hanyalah kaum muda yang ingin mengerjakan sesuatu seperti keinginannya dengan cara semampunya. Mereka mewakili gerakan kaum muda yang bersemboyan D.I.Y, singkatan Do It Yourself alias kerjakan sendiri. Atau, dalam bahasa anak-anak indie Bandung, kumaha aing!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar